"Guru yaiku digugu lan ditiru" itu kata Filsafat Jawa.
Apabila cerita ini ada kesamaan pelaku, tempat dan waktu itu hanya faktor kebetulan belaka.
Silahkan simak kisahnya.
Dalam tepi hamparan sawah, disitulah satu keluarga kecil terbentuk.
Udara sejuk dipagi hari, panas di siang hari dan terpaan angin segar menyertai suasana hening terpadu.
Setiap kali adzan berkumandang selalu terdengar gemiricik air yang membentur lantai sumur, pertanda insan rumah sedang mengambil air wudlu.
Satu bapak, satu ibu dan satu anak laki-laki sholeh.
Alkisah pada suatu hari si kecil bertanya pada ayahnya.
"Yah kenapa ayah ga jadi guru ?" kata si kecil sambil mengusap peci putih ayahnya yang ditanya sehabis berdo'a setelah tunaikan shalat maghrib di masjid samping utara rumahnya.
"Mengapa adik tanya seperti itu, bukankah adik sekarang sudah cukup senang dengan keadaan sekarang. Mainan, baju, celana, sepatu, tas sekolah dan alat-alat sekolah adik sudah punya" jawab si ayah yang kelihatan tersenyum namun sedikit asam karna saking letihnya beraktifitas di sekolah menjadi juru tulis di kantornya.
Tak puas dengan jawaban ayahnya si anak itu pun bertanya kembali dibarengi meraih tangan ayahnya.
"Anaku sayang,coba sekarang kamu lihat pohon pisang itu !" terang ayah sambil menunjuk ke kebun pisang yang berada di utara masjid.
"Ada apa dengan pohon pisang itu Yah" lanjut si kecil bertanya.
"Nak,coba perhatikan betul-betul pohon pisang itu. Anak sholeh taukan pohon pisang itu tidak akan mati dulu sebelum keluar buahnya,mau dipangkas habis oleh pemiliknya pasti tetep akan tumbuh terus" jawab ayah dengan sedikit memberikan sentuhan logika ilmu botani yang ia dapatkan dari eyangnya almarhum dulu saat sering bercocok tanam di kebun.
"Trus apa hubungnnya pohon pisang dengan guru?" tanya si kecil sambil menengadahkan wajahnya ke ayah tercinta.
"Lha itulah nak, menjadi guru itu sebisa mungkin dan semaksimal mungkin ikhlas, sabar serta mampu memberikan terbaik tanpa putus asa".
"Kemudian kamu lihat burung merpati itu nak?" sembari jari telunjuk ayahnya mengarah pada satu target yaitu sepasang burung merpati yang sedang memberikan makan anaknya.
"Mana sih Yah?" ucap si kecil.
"Perhatikan ya Nak....." ulas ayahnya sambil mengulangi lagi menunjukkan jari telunjuk ke arah sepasang merpati.
"Oh iya Yah, adik tau itu ada sepasang burung merpati yang sedang memberikan makan anaknya". sambil tersenyum si kecil menanggapi instruksi ayahnya.
"Nah, burung merpati itu memiliki sifat setia, pantang menyerah, gemati "selalu ingat keluarga" dimanapun, kapanpun dia berada.
"Emmmmm......terus apa hubungan sepasang burung merpati dengan Guru Yah" tanya si kecil.
"Guru itu selain ikhlas, sabar serta mampu memberikan terbaik tanpa putus asa ada tugas lain yang harus dilakukan yaitu tetap bertanggungjawab, setia, pantang menyerah, gemati menghidupi keluarga" terang ayahnya.
"Yang jelas menjadi guru itu Tidak Mudah dan Tidak Susah asal kita punya niat dan keinginan kuat untuk meraihnya" jelas sang ayah.
"Yah...adik terus bertanya tentang guru bukan berarti kurang bersyukur dengan apa yang adik dapat, tapi adik cukup bangga punya ayah yang bekerja keras, tanggung jawab terhadap keluarga dan selalu bersyukur menerima apapun yang Allah beri" si kecil menjelaskan tentang maksud pembicaraannya.
"Nak...ayah minta maaf mungkin belum sepenuhnya mampu membuat kamu dan ibumu bangga sampai saat ini" sambil mengendong si kecil beranjak pulang ke rumah.
"Ayah........." dekap si kecil di pundak ayahnya.
"Jadi anak yang sholeh ya Nak...!!" ucap ayah sambil mencium pipi si kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar